A.
Kemiskinan dan Ruang Lingkupnya
1.
Definisi Kemiskinan
Seperti halnya pengangguran
kemiskinan (poverty) merupakan masalah yang dihadapi oleh seluruh
negara, terutama di negara berkembang. Masalah kemiskinan merupakan suatu yang
kompleks, baik dilihat dari penyebabnya maupun dilihat dari ukurannya. Hal ini
dikarenakan kemiskinan bersifat multidimensional, artinya kemiskinan
menyangkut seluruh dimensi kebutuhan manusia yang sifatnya sangat beragam. Selain
itu, kebutuhan dimensi manusia yang beraneka ragam itupun saling terkait satu
dengan lainnya.[1]
2.
Jenis – Jenis Kemiskinan
Dari
jenisnya, ada dua macam kemiskinan, yakni kemiskinan subjektif dan kemiskinan
objektif.
a. Kemiskinan Subjektif
Kemiskinan subjektif adalah
kemiskinan yang berlaku secara individual. Kemiskinan jenis ini sama sekali
tidak ada hubungannya dengan kepemilikan sejumlah harta maupun dengan kemampuan
mengeluarkan uang untuk mencukupi kebutuhan. Kemiskinan subjektif itu berhubungan
dengan perasaan. Seorang dikatakan miskin jika ia merasa miskin, dan dikatakan
kaya jika ia merasa kaya, bukan karena orang lain mengatakannya demikian.tidak
peduli berapapun sedikit hartanya, jika ia merasa sudah cukup dan tidak banyak
lagi yang diperlukannya, maka sebenarnya dia itu kaya raya. Demikian pula,
tidak peduli berapa pun banyak hartanya, jika ia merasa belum cukup dan masih
banyak kebutuhannya yang belum terpenuhi, sebenarnya dia itu miskin. Para ahli
hikmah menyebut, itulah kaya hakiki dan miskin hakiki. Adapun banyak harta, itu
adalah kaya majazi (kiasan) dan sedikit harta itu adalah miskin majazi. Dalam
kehidupan sehari-hari sedikit sekali orang yang kaya majazi sekaligus kaya
hakiki. Sebaliknya, kebanyakan orang yang miskin majazi sekaligus juga miskin
hakiki.
Kemiskinan subjektif tidak dapat
diukur, dan hanya dapat dirasakan oleh yang bersangkutan saja. Dengan demikian,
meskipun mengandung kebenaran, kemiskinan (maupun kekayaan) subjektif tidak
dapat dianalisis. Kemiskinan objektiflah yang dapat dianalisis karena ia
merupakan gejala sosial yang nyata terlihat.
b. Kemiskinan Objektif
Kemiskinan objektif berhubungan
dengan pandangan orang banyak. Maksudnya, seseorang dikatakan miskin karena
orang-orang memang melihatnya tidak berpunya, dan seseorang dikatakan kaya
karena orang banyak memang melihatnya kaya. Kemiskinan objektif dibagi menjadi
dua, yakni kemiskinan mutlak dan kemiskinan relatif. Seseorang disebut miskin
mutlak jika pendapatannya berada pada atau di bawah garis kemiskinan. Garis
kemiskinan (poverty line) untuk Indonesia, menurut definisi Badan Pusat
Satistik, adalah sejumlah uang yang dapat dipakai untuk membeli 21.000 kalori
setara beras sehari per orang.
Dalam pada itu, kemiskinan relatif
menyatakan kemiskinan dalam perbandingan dengan keadaan orang atau kelompok
lain. Jelasnya, seseorang (atau kelompok) disebut miskin relatif jika dia (atau
kelompok itu) lebih miskin dari orang (atau kelompok ) lain. Demikian pula,
seseorang (atau kelompok) disebut kaya relatif jika dia (atau kelompok itu)
lebih kaya dari orang (atau kelompok) lain. Dari penjelasan tersebut, ada dua
hal yang dapat kita tarik sebagai kesimpulan. Pertama, semua orang (atau
kelompok) pastilah miskin (atau kaya) relatif. Kedua, secara teorotik,
kemiskinan mutlak dapat dibasmi, sedangkan kemiskinan relatif tidak dapat
dibasmi.[2]
3.
Pengukuran Kemiskinan
Ukuran kemiskinan secara sederhana dan
umum digunakan dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Kemiskinan absolut
b. Kemiskinan relative
Kemiskinan
absolut. Untuk membedakan masyarakat yang
digolongkan sebagai kelompok miskin dan tidak miskin diberdasarkan pada
kemampuan pemenuhan kebutuhan pokok (basic needs). Apabila seseorang mampu
memenuhi kebutuhan pokok minimalnya. Seperti pangan, pakaian dan perumahan,
maka orang tersebut tidak digolongkan sebagai kelompok masyarakat miskin. Kesulitan
penggunaan ukuran kemiskinan absolut adalah dalam penentuan kebutuhan pokok
atau kebutuhan minimum, karena ada banyak definisi mengenai kebutuhan pokok. Selain
itu kebutuhan pokok sangat dipengaruhi oleh kondisi alam (iklim, cuaca, dan
geografis) adat dan kebiasaan, serta tingkat kemajuan peradaban suatu
masyarakat atau negara.
Organisasi
buruh internasional (international labor organization atau ILO) mendefinisikan
kebutuhan pokok terbagi menjadi dua unsur. Pertama, kebutuhan minimum tertentu
berupa makanan yang cukup, tempat tinggal, pakaian, peralatan dan perlengkapan
rumah tangga. Kedua, kebutuhan akan layanan sosial yang dibutuhkan oleh
masyarakat, seperti air bersih, pendidikan, dan kebutuhan akan budaya. Sementara
itu, Maslow memasukkan selain kebutuhan minimum dasar, kebutuhan pokok juga
meliputi kebebasan berpendapat (freedom), dan pengakuan, penghargaan, dan
aktualisasi diri (self – esteem). Dengan beragamnya pengertian kebutuhan pokok,
maka garis kemiskinan tidak dapat
berlaku umum sulit penentuannya secara obyektif.
Kemiskinan
relatif. Berbeda dengan kemiskinan absolut
meskipun seseorang sudah mampu memenuhi kebutuhan pokok, tetapi orang tersebut
belum Dapat dikatakan tidak miskin. Menurut Miller (1997) meskipun kebutuhan
seseorang sudah mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, akan tetapi pendapatannya
masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya, maka
orang tersebut masih digolongkan miskin. Dengan demikian, semakin besar
kesenjangan pendapatan antar kelompok masyarakat, maka semakin banyak
masyarakat yang digolongkan miskin.
Untuk
mengukur kesenjangan dalam distribusi pendapatan, ada banyak pendekatan dan
rumus yang digunakan paling tidak ada tiga alat ukur yang biasa digunakan,
yaitu:
1.
Indeks entropi atau generalize entropy (GE)
Nilai
GE biasanya adalah lebih besar daripada 0. Semakin besar nilai GE berarti
menunjukkan semakin besar tingkat kesenjangan (gap) tingkat pendapatan dalam
suatu negara. Parameter A mengukur besarnya perbedaan–perbedaan pendapatan dari
masing-masing kelompok masyarakat. Secara matematis, indeks entropi dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan :
N = Jumlah
individu dalam sample
Y = Tingkat
pendapatan
α = Ukuran rata-rata pendapatan
2.
Indeks atkinson atau atkinson measure
Seperti halnya indeks entropi, indeks Atkinson juga digunakan untuk
mengukur ketimpangan distribusi pendapatan dalam suatu tempat. Indeks ini
dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Parameter yang
digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan adalah ε. Besarnya nilai
parameter ketimpangan ini adalah 0 < ε <, berarti semakin tinggi nilai ε
semakin besar ketidakseimbangan pembagian pendapatan antar golongan dalam suatu
masyarakat.
3.
Indeks gini atau gini ratio
Gini ratio merupakan alat ukur yang umum dipergunakan dalam studi
yang bersifat empiris. Untuk menghitung kesenjangan pendapatan antar kelompok
masyarakat, dapat digunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan :
KG = Angka koefisien Gini
X = Proporsi jumlah rumah
tangga kumulatif dalam kelas i
f = Proporsi jumlah
rumah tangga dalam kelas i
Y = Proporsi jumlah
pendapatan rumah tangga kumulatif dalam kelas i
α = Ukuran rata-rata
pendapatan
Nilai
Gini antara 0 dan 1, dimana nilai 0 menunjukkan tingkat pemerataan yang
sempurna, dan semakin besar nilai Gini maka semakin tidak sempurna. Secara
rinci, tingkat ketidakmerataan itu adalah sebagai berikut:
a.
0,50 – 0,70 : Ketidakmerataan tinggi.
b.
0,36 – 0,49 : Ketidakmerataan sedang.
c.
0,20 – 0,35 : Ketidakmerataan rendah.
Selain
itu kemiskinan dapat dilihat dari beberapa indikator yang umum dan selama ini
telah digunakan, menurut Badan Pusat Statistik (tahun 2000) kemiskinan
didefinisikan sebagai pola konsumsi yang setara dengan beras 320
kg/kapital/tahun di pedesaan dan 480 kg/kapital/tahun di daerah perkotaan.
Menurut hasil survey Susenas (1999), kemiskinan disetarakan dengan
pengeluaran untuk bahan makanan dan non makanan sebesar
Rp.89.845,-/kapital/bulan untuk perkotaan dan Rp.69.420,-/kapital/bulan untuk
pedesaan. Bank Dunia menggunakan standard mata uang dollar Amerika
Serikat, yaitu untuk dekade 1980, standar pengeluaran untuk makanan adalah 50
dolar AS untuk pedesaan dan 75 dolar AS untuk per kapita per tahun (berdasarkan
kurs dasar dollar 126 terhadap rupiah pada tahun 1971).[3]
Komentar
Posting Komentar